Senin, 18 Februari 2013

Cara Mengatasi dan menangani Konflik Berorganisasi


Mengatasi dan Menangani Konflik
(Manajemen Konflik)(Paul Chapman Publishing

Kemampuan untuk menghadapi dan menangani konflik adalah salah satu kunci sukses manajerial dalam satu organisasi. Kapan saja kita berharap membuat perubahan, pasti ada potensi terjadinya konflik. Lagipula, kita tidak hanya harus menangani situasi dimana konflik antara diri kita sendiri dan satu atau lebih anggota staff lainnya, tetapi juga terhadap waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik atas diri kita atau, yang tersulit dari semuanya, untuk meletakkan arah tujuan di antara ladang “perpolitikan” dimana dua dari pesaing kita atau atasan kita terjebak dalam pergumulan ini.
Konflik, dalam arti sebenarnya, merupakan suatu perbedaan pendapat yang terjadi dari kemungkinan dua atau lebih arah tujuan dan tindakan yang tidak hanya tidak dapat dihindari tapi juga sebagai suatu hal yang patut diperhitungkan dalam hidup. Yang justru membantu kemungkinan-kemungkinan yang berbeda yang sudah direncanakan  sebagaimana mestinya, dan  kemungkinan tujuan tindakan lainnya yang mungkin diartikan secara umum dari beberapa pilihan tindakan yang sudah diuji pada tahap awal sebelumnya atau bahkan sudah didiskusikan terlebih dahulu dari beberapa tindakan alternatif yang sudah dikenal.
Kebanyakan konflik memiliki dua komponen yaitu rasional dan emosional, dan terletak di suatu tempat di sepanjang dua gambaran antara konflik kepentingan di satu sisi dan bentrokan kepribadian di sisi lain.
Contohnya, ketika seorang penjual rumah mencari harga tertinggi, sementara pembeli berharap bisa membayar serendah mungkin.Ada juga gambaran konflik kepentingan antara atasan dan karyawan tentang gaji. Dari kedua contoh kasus konflik di atas, adalah dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik – sebaliknya, jika tidak, pihak pertama, pasti tidak akan tercapai target penjualan yang diinginkan dan pasti juga tidak akan terjadi titik temu pada pihak kedua. Agar dapat terjadi solusi negosiasi yang sesuai dan yang diinginkan, maka:
1.    Mendengarkan dan memahami dari masing-masing kebutuhan (jangan buang-buang waktu mengulang-ulang sudut pandang anda) – belajar untuk jujur – apa adanya.
2.    Cari pertukaran; misalnya, adakah sesuatu yang bisa saya alihkan atau serahkan kepada pihak lain yang artinya lebih pada pihak mereka daripada “memberatkan “(membebani )diri sendiri?
3.    Fokus pada isu dan kenyataan, serta hindari menilai konflik sebagai sesuatu yang terlalu pribadi.

Namun, itu semua terlalu mudah bagi keinginan emosional untuk'mengalahkan perusak' pikiran menyelinap masuk dan, setelah itu, mungkin juga menyebar dari satu pihak ke pihak yang lain.
Beberapa konflik berakar pada kepribadian para ‘kontestan', misalnya, seorang introvert (tertutup) mungkin membenci perilaku flamboyan seorang ekstrovert (terbuka); atau dua wakil kepala perusahaan dengan gaya manajemen yang berbeda mungkin merasa sulit untuk bisa saling bekerja sama.
Konflik bisa berubah menjadi kekuatan yang membahayakan dan merusak ketika “kejayaan” seseorang dipertaruhkan untuk memperoleh hasil. Konflik semakin berkembang, semakin ‘kejayaan(‘kemenangan”) dipertaruhkan. Semakin pahit konflik terjadi semakin sulit untuk mencapai suatu pemecahan(hasil).Pengambilan keputusan menjadi “cacat’ karena tidak ada satu pihak pun yang berani dan mau membuat satu  konsesi karena takut( mungkin “dibenarkan”)bahwa hal tersebut akan dimanfaatkan oleh pihak lain sebagai kemenangan dan jembatan untuk kemajuan lebih lanjut.
Pada dasarnya ada sikap yang mungkin yang dapat dipakai oleh para pihak dalam setiap konflik dalam hal ini, didasarkan pada perubahan  dari apakah mereka percaya bahwa mereka dapat menghindari konfrontasi, dan apakah mereka percaya bahwa mereka dapat mencapai kesepakatan.
Sikap yang paling kondusif untuk menyelesaikan konflik, tentu saja, jika  salah satu pihak menyediakan waktu lebih mendalam pada pemecahan masalah, dan beberapa kompromi cepat, atau memberi dan mengambil berbagai kemungkinan jawabannya.
Konflik harus diakui dan ditangani sedini mungkin. Jika Anda memiliki masalah dengan seseorang, segera pergi untuk berbicara dengan dia, sebelum membangun kepahitan.  Jika kepahitan telah terjadi, anda perlu untuk memilih waktu  terbaik; dan meluangkan waktu untuk membuat segala sesuatu menjadi jelas bahwa Anda benar-benar berniat menyelesaikan konflik. Beberapa teman dari kedua belah pihak mungkin diperlukan untuk bertindak sebagai katalis(membantu/menengahi secara netral tanpa melibatkan diri terlalu dalam), untuk meyakinkan kedua belah pihak bahwa niat tulus, dan atau bertindak sebagai ‘konsultan proses'mediator.
Dalam konflik antara beberapa anggota staf, terutama mereka yang melapor kepada Anda, pekerjaan Anda sebagai seorang manajer, mungkin saja untuk melangkah sebagai 'konsultan proses', untuk mencoba memahami sudut pandang masing-masing individu dan untuk membawa masing-masing menjadi suatu pernyataan 'pemecahan masalah' pikiran. Mengatur tahap pertemuan untuk menyelesaikan konflik, prinsip-prinsip berikut bisa dijadikan acuan diskusi seperti:

1.    Setiap pihak saling berbicara satu dan lain, seterbuka mungkin tentang segala realitas-kenyataan sesuai dengan
permasalahan yang menjadi keprihatian dan perhatian mereka.
2. Meletakan tujuan, pandangan dan perasaan mereka, secara terus terang, tetapi tetap tenang,dan hindarilah
pengulangan yang merugikan.
3.  Menempatkan konflik dalam konteks tujuan yang lebih tinggi demi kepentingan organisasi secara
keseluruhan.
4.    Lebih memfokuskan diri pada langkah tindak lanjut berikutnya dari pada kejadian-kejadian yang sudah
lewat.
5.  Mendengarkan; menyimak dari setiap pihak; dari setiap sudut pandang secara seksama yang mencari
pengertian. Meyakinkan bahwa pemahaman mereka sudah benar.
6.    Mencoba untuk menghindari tindakan menyerang atau bertahan.
7.    Mencoba membangun ide masing-masing.
8.    percaya itikad baik masing-masing dan mencoba untuk bertindak dengan itikad baik.
9.    merencanakan beberapa tindakan yang jelas untuk mengikuti pembahasan, menentukan siapa yang
akan melakukan apa dan kapan.
10.  Menetapkan tanggal dan waktu untuk meninjau kemajuan dan mempertahankan ini dari semua biaya ataupun
resiko.
Sejumlah struktur yang berguna dapat digunakan untuk membantu individu atau kelompok untuk mengatasi keengganan  menempatkan konflik 'pada tempatnya'. struktur ini memiliki nilai ganda seperti:
1.    Memungkinkan perasaan yang kuat dan prasangka yang timbul untuk diungkapkan dalam bentuk yang lebih bersahabat daripada kata yang diucapkan. Perasaan menjadi data faktual (meskipun mungkin menyakitkan);
2.    Dan, Menjaga keseimbangan, seperti apa yang kita suka, apa yang kita tidak suka, apa yang kita lakukan dan apa yang orang lain lakukan.

Menangani Konflik Organisasi
Konflik dan kegagalan(frustasi) sering menjadi pusat perhatian saat sekolah, perguruan tinggi atau suatu departemen yang sedang berjalan. Setiap kasus konflik cenderung terjadi di setiap bentuk organisasi, dan mereka bisa dianggap semakin kritis.
Seringkali tidak ada pendapat yang koheren tentang bagaimana sesuatu harus dilakukan – hanya sikap negatif umum lainnya terhadap cara dimana hal-hal mesti dilakukan.
Hal ini bisa menjadi halangan bagi atasan, kepala departemen, dan timbul perasaan bahwa para staff bekerja bukan untuk anda tetapi untuk melawan anda. Anda merasa salah paham karena seseorang dan berusaha sendirian membuat organisasi bekerja sesuai keinginan anda. Anda mungkin, benar, merasa perlu membawa kunci permasalahan kepada para staff guna menguji cara dimana sekolah atau departemen beroperasi dan, dengan harapan, untuk mendapatkan komitmen; suatu bentuk kesepakatan praktis. Masalahnya, adalah bahwa setiap pertemuan tersebut dapat turun ke dalam kekacauan dengan semua argumen lama dan prasangka berlebihan.
 Menyajikan sebuah struktur yang bisa membantu dalam penyaluran tinjauan ulang praktis sekolah sebagai  satu organisasi. Hal ini barangkali diubah agar sesuai dengan keadaan tertentu, tetapi setiap perubahan yang dilakukan pasti selalu menyoroti isu-isu kontroversial. “Tinjauan ulang sekolah’ menggunakan beberapa teknik yang mungkin bermanfaat:




1.    Teori “gap” - meminta orang untuk menyatakan pandangan ideal mereka dan membandingkannya
dengan persepsi mereka yang sebenarnya(.' gap 'antara keduanya adalah apa yang kemudian harus dijembatani)
2.    Mengkategorikan dan mengukur pandangan dari apa yang salah dengan memfokuskan analisis  struktur laporan - selalu, tentu saja, dengan kemungkinan merumuskan pernyataan kelompok yang tidak sesuai persis dengan salah satu alternatif.
3.    Mengkonkritkan seputar pernyataan kasus – kasus yang ditangani .

Untuk beberapa tinjauan sekolah adalah:
1.    Memeriksa secara transparan dimana sekolah dan para staff-nya beroperasi.
2.    Diagnosa masalah dan peluang untuk peningkatan.
3.    Hasil dari diagnosa masalah  dan peluang yang terjadi, tetapkan sasaran tujuan untuk perbaikan  organisasi.
4.    Setelah tinjauan kedua, sebagai tinjauan hasil akhir, uji dan evaluasi setiap kemajuan dan pencapaian organisasi.

Merupakan tanggung jawab bagi tim atas seperti wakil atasan dan kepala-kepala departemen untuk mengatur tahap-tahap peninjauan(evaluasi/review).  Sedangkan anggota kelompok yang lain, tanggung jawabnya terutama kepada kelompok-kelompok senior, dalam organisasi agar bisa bebas mencetuskan ide-ide proses mereka sendiri.
Salah satu akibat dari cara ini adalah untuk menarik keluar suasana panas dari pembicaraan yang timbul dan memungkinkan untuk mendudukkan masalah untuk dibuat serasional mungkin bisa diterima oleh semua pihak. Pasti selalu ada kekhawatiran bahwa seseorang akan terluka melalui proses ini, khususnya bagi  atasan yang merasa bertanggung jawab atas seluruh proses review yang berlangsung. Untuk alasan inilah pentingnya bahwa rapat-rapat review harus dilakukan menyeluruh mulai dari tingkat yang paling atas dari suatu kelompok unit kerja, dengan itikad baik, keinginan murni untuk memahami perasaan setiap orang.
Penting juga, mungkin untuk melibatkan banyak pihak- atau banyak orang – untuk review semacam ini. Dua belah pihak adalah ideal. Sekali pihak ketiga  atau lebih terlibat, penanganan yang lebih besar mesti dilakukan agar masalah yang timbul tidakmeningkat ketingkat yang lebih serius. Dalam rapat melibatkan atasan, wakil kepala dan kepala-kepala departemen, ada resiko saling menyalahkan jika komunikasi gagal disampaikan secara tepat dan proporsional.

Mencegah Konflik yang Tidak Perlu.
Perilaku tertentu besar kemungkinannya memprovokasi tingkat konflik yang tidak perlu terjadi. Untuk meminimalisasi(mengurangi)akibat yang mungkin bisa merusak karena konflik yang terjadi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1.    Menjaga, mempertahankan sebanyak mungkin komunikasi dengan berbagai pihak yang terlibat, dimana gagasan-gagasannya, kepentingan-kepentingannya atau perilaku-perilaku yang timbul, yang bisa menjadi konflik bagi anda sendiri.
2.    Jangan menunda pembicaraan untuk menuntaskan masalah, dengan harapan bahwa hal itu akan hilang dengan sendirinya – yang biasanya justru akan membuatnya menjadi bertambah parah.
3.    Menahan diri dari godaan untuk membicarakan orang dibelakang punggung mereka. Jangan pernah mencoba membuat “sekelompok” pendapat sendiri. Bicarakanlah dengan pihak/orang lain.
4.    Jika anda melihat gejala atau tanda konflik antar departemen, coba untuk membuat proyek, dari sumber-sumber yang netral dan peka, secara individu; diambil dari berbagai departemen yang ada, yang bisa bekerja bersama-sama. Sebagai prinsip dasarnya, hal ini bagus dilakukan untuk mencegah terciptanya batasan yang kaku antar departemen. Dimana ada kompetisi dari sumber-sumber langka – akan jauh lebih membuahkan hasil jika bertanya antar departemen, untuk mempertemukan, untuk memproses satu kebijakan dari kepala organisasi dan kepala departemen daripada melanjutkan menggunakan cara-cara tradisional yang mengundang tuntutan atau gugatan dari tiap departemen, dan demikian menutup tingkat perlawanan.
5.    Hindari semua fenomena orientasi “menang-kalah’, dan dari semua itu coba untuk melihat dari semua sudut perselisihan, mengingat hampir semua staff hanya akan berperilaku negatif, jika mereka sudah merasa terancam atau “diserang”.
6.    Hindari pengaturan situasi konflik melalui struktur ‘hadiah”, dan jika mereka sudah berada pada situasi seperti itu, ubahlah. jika dua guru melihat diri mereka sebagai yang bersaing untukmendukung Anda, banyak upaya mereka mungkin diarahkan ke kegiatan 'politik' dan mereka mungkin masing-masing menjadi bulan-bulanan waktu untuk  'memamerkan' diri mereka di depan muka anda, daripada memahami dengan tenang dengan pekerjaan mereka yang sesungguhnya.  Pastikan anda melihat hasil kerja yang baik dan benar, daripada sanjungan atau sekedar ‘pamer’muka.

Satu-satunya cara untuk menjadi manajer konflik yang efektif; dari berbagai pihak dan konflik itu sendiri antara masing-masing staff, yang perlu dilatih dan dikembangkan sikap dan perilaku tertentu yaitu kontrol diri dan praktek nyata.
Pertama, kita perlu belajar menghadapi segala tantangan situasi, mampu berkata “TIDAK” ketika perbedaan pendapat muncul. Kita mesti bisa menunjukkan dengan cara , sikap, perilaku kita sendiri bahwa kita terbuka dengan berbagai kemungkinan alasan, pembicaraan-pembicaraan logis dan pemecahan masalah. Kedua, kita mesti bisa menyampaikan ide-ide kita dan perasaan-perasaan kita dengan jelas, singkat, tenang, dan jujur. Ketiga, kita perlu membangun kemampuan untuk mendengarkan, yang mencakup kemampuan menunjukkan kepada seseorang bahwa kita mengerti/memahami apa yang sudah dikatakan, dengan “memainkannya kembali”. Kita juga perlu belajar membangun kebiasaan bertanya daripada memberikan atau membuat pernyataan, ingatlah bahwa seorang penjual produk atau penjual jasa yang sukses, adalah mereka yang lebih banyak bertanya. Keempat, kita butuh kemampuan dalam mengevaluasi segala hal, segala aspek permasalahan, mengerti/memahami tekanan yang timbul dari pihak lain, yang mungkin ‘berputar-putar’ diluar batas sudut pandang yang mungkin secara normal dapat kita ambil. Yang terakhir, kita juga perlu belajar mengeluarkan pikiran;  menumbuhkan tujuan bersama yang seharusnya membantu tiap-tiap pihak diluar segala perbedaan yang ada diantara mereka, apakah itu tentang metode yang digunakan untuk melihat pencapaian tujuan yang akan datang daripada mempertahankan pertentangan-pertentangan yang sudah lewat

Pengertian Paradigma Pendidikan


A.   A.   Perlunya Paradigma Baru Pendidikan
Paradigma baru pendidikan diperlukan untuk membangun masyarakat terdidik, masyarakat yang cerdas akan membawa pendididkan sebagai proses pembentujan manusia Indonesia seutuhnya. Paradigma pendidikan penting untuk diperbarui menjadi system pembelajaran yang lebih bertumpu pada teori kognitif dan konstruktifistik. Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks sosial dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan prespektif budaya. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan mentri pendidikan nasional yang menyatakan bahwa secara filosofis pendidikan ditantang untuk melakukan redifinisi tentang tujuan, fungsi, dan hakikat pendidikan yang berperan sebagai “human education for all human being”. Dengan demikian, secara filosofis pendidikan harus memiliki keseimbangan dalam peranananya membangun peserta didik sebagai warga dunia, warga bangsa, dan warga masyarakat.
Hal ini juga diperlukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan terbesar dari lembaga pendidikan kita selama ini yaitu pendidikan yang tidak memiliki basis pengembangan budaya yang jelas sehingga tidak mengherankan bila keluaran pendidikan kita hanya menjadi manusia pencari kerja yang tidak berdaya bukan manusia yang kreatif pencipta keterksitsn kesejahteraan dalam pendidikan dan pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran pengembangan potensi siswa harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu. Pengembangan potensi siswa yang tidak seimbang akan menjadikan pendidikan cenderung lebih peduli pada perkembangan satu aspek kepribadian tertentu saja, sehingga sangat keliru jika guru hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pelajaran saja.Sebaiknya guru juga berupaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan.
Jika duniapendidikan berhasil melakukan tugas ini  maka pada gilirannya masyarakat kita dimasa depan akan berkembang menjadi masyarakat yang berkualitas secara intelektual dan moral.

B.  B.     Pembelajaran Sebagai Pilar Utama Pendidikan
Pada hakikatnya, pendidikan adalah belajar (learning). Pendidikan mertumpu pada empat pilar yaitu:
1.    Learning to know
Learning to know adalah upaya memahami instrument-instrumen baik sebagai alat maupun tujuan. Sebagai alat pengetahuan diharapkan akan memberikan kemampuan setiap orang untuk memahami berbagai aspek lingkungan agar mereka dapat hidup dengan harkat dan martabatnya dalam rangka mengembangkan keterampilan kerja dan berkomunikasi dengan berbagai pihak yang diperlukan. Sebagai tujuan maka pengetahuan akan bermanfaat dalam rangka peningkatan pemahaman, pengetahuan serta penemuan di adalam kehidupanya.
2.    Learning to do
Learning to do lebih ditekankan pada bagaimana mengajarkan anak-anak untuk mempraktikan segala sesuatu yang telah dipelajarinya dan dapat menerapkan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperolehnya tersebut dengan pekerjaan-pekerjaan dimasa depan.
3.    Learning to live together, learning to live with others
Learning to live together, learning to live with others, pada dasarnya adalah mengajarkan melatih dan membimbing peserta didik agar mereka dapat menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik, menjauhi prasangka-prasangka yang buruk terhadap orang laen serta menjauhi konflik agar tercipta kedamaian dan keharmonisan hidup.
4.    Learning to be
Learning to be menekankan bahwa melalui kegiatan pembelajaran setiap siswa harus terus didorong agar mampu memberdayakan dirinya sendiri, mengambil keputusan sendiri dan memikul tanggung jawab sendiri.

Kedudukan keempat pilar pendidikan yang dipaparkan tersebut merupakan misi dan tanggung jawab yang harus diemban oleh pendidikan. Melalui kegiatan belajar mnegtahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama dan menjadi diri sendiri dan didasari oleh keinginan yang sungguh-sungguh maka akan semakin luas pengetahuan seseorang tentang nilai-nilai positif, tentang orang lain serta tentang berbagai perubahan dinamika yang terjadi.

C.    C. Pembelajaran Sebagai Proses Pemberdayaan Diri
Dalam proses pembelajaran, pengenalan terhadap diri sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam upaya-upaya pemberdayaan diri
Melalui proses pembelajaran, guru dituntut untuk mampu membimbing dan memfasilitasi siswa agar mereka dapat memahami kekuatan serta kemampuan yang mereka miliki untuk selanjutnya memberikan motifasi agar siswa terdorong untuk bekerja atau belajar sebaik mungkin agar mampu memberdayakan dirinya dalam menghadapi berbagai masalah.
Hal ini sesuai dengan UUD 1945, Pendidikan seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa yang berarti pendidikan adalah usaha untuk memberdayakan manusia. Manusia yang berdaya adalah manusia yang berfikir kreatif, mandiri dan dapat membangun dirinya dan masyarakatnya.

D.   D.    Paradigma Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
Konstruktifisme merupakan respon terhadap berkembangnya harapan-harapan baru berkaitan dengan proses pembelajaran yang menginginkan peran aktif siswa dalam memprakarsai kegiatan belajarnya sendiri.
Konstruktifisme merupakan paradigm alternative pembelajaran yang muncul sebagai revolusi ilmiah yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.
Pembelajaran dan paradigma konstruktifisme ini lenih menitik beratkan pada pengembangan pemikiran yang memungkinkan siswa dapat memberdayakan fungsi-fungsi fisik dan psikologis.

Analisis Meningkatkan Kompetensi dan Kualitas Sumber daya Manusia Aparatur


PENDAHULUAN

Aparatur Negara merupakan unsur utama sumber daya manusia yang mempunyai peranan yang menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Untuk dapat membentuk sosok aparatur pemerintah yang baik, dalam rangka untuk meningkatkan kinerja pegawai, maka salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui pelaksanaan pendidikan dan pelatihan (diklat). Diklat adalah suatu keharusan dari suatu organisasi birokrasi dan merupakan bagian dari upaya pengembangan sumber daya manusia sekaligus sebagai salah satu solusi untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam suatu organisasi. Diklat pada instansi pemerintah, tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang pendidikan dan pelatihan jabatan Aparatur Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk melaksanakan tugas PNS, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika Aparatur Negara sesuai dengan kebutuhan instansi.
Meskipun upaya-upaya diklat telah dilaksanakan, namun hal ini belum memberikan hasil yang maksimal sesuai dengan yang diharapkan, karena banyak yang menganggap setelah mengikuti diklat ternyata tidak selalu berdampak kepada jabatan maupun risiko mereka di lingkungan organisasinya. Hal ini disebabkan kurangnya pemerataan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan, salah satu hambatannya karena kurangnya anggaran, materi diklat yang diadakan tidak sesuai dengan bidang pekerjaannya, sehingga untuk melaksanakan pekerjaannya, pegawai menjadi sulit untuk mengimplementasikan hasil pendidikan dan pelatihan yang didapatkannya. Selain pendidikan dan pelatihan pegawai, untuk dapat mencapai suksesnya pencapaian tujuan organisasi, pengembangan karir juga merupakan salah satu yang harus diusahakan dalam mencapai kinerja pegawai. Pengembangan karir merupakan salah satu tugas manajemen sumber daya manusia sebagaimana umumnya bahwa tujuan setiap organisasi, baik organisasi publik maupun swasta, akan dapat tercapai dengan baik apabila pegawai dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan efektif dan efisien. Pengembangan karir merupakan suatu proses di mana seorang pegawai menginginkan peningkatan dalam pekerjaannya, mencakup pada peningkatan jabatan.






PEMBAHASAN

                Pendidikan dan Pelatihan memiliki peran strategis untuk meningkatkan kualitas SDM aparatur, yaitu SDM aparatur yang profesional baik memiliki kompetensi, sikap dan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tugas dan peranan dalam jabatan tertentu. Birokrasi pemerintah kurang optimal dalam menjalankan peran sehingga memicu bangsa indonesia jatuh dalam kubangan multikrisis yang berkepanjangan. Sedangkan kurang optimalnya birokrasi dalam menjalankan perannya diakibatkan sikap dan perilaku aparatur pemerintah yang cenderung melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
                Meskipun sikap dan perilaku  KKN aparatur pemerintah itu bekerja sama dengan pihak lain (masyarakat), namun demikian karena aparatur pemerintah yang seharusnya lebih dapat dikendalikan, maka ada sesuatu yang salah (kurang efektif) dalam manajemen SDM aparatur pemerintah terutama dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat).
                Beberapa hasil penelitian dan fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa kurikulum, program, dan materi pelajaran baik diklat pimpinan, fungsional, dan teknis lebih menonjolkan ranah kognitif dan psikomotorik ketimbang ranah afektif. Akibatnya diklat banyak menghasilkan orang pintar, tetapi belum tentu menunjang tinggi nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Belum tergarapnya ranah afektif ini, maka dalam hal pembinaan moral dan etika serta internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai pemerintahan yang baik. Karena itu perlu dipikirkan untuk meningkatkan proporsi ranah afektif dalam penyelenggaraan diklat.
                Permasalahan yang kedua yang sering mencuat dalam penyelenggaraan diklat adalah maslaah kompetensi lulusan peserta diklat yang tidak sesuai kebutuhan masyarakat dan dinamika lingkungan. Hal ini disebabkan lulusan diklat memiliki kreativitas yang rendah, pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki tidak mampu mengatasi tantangan zaman serta tidak mampu memanfaatkan peluang yang ada, padahal birokrasi pemerintah Indonesia terutama aparaturnya harus memiliki kreativitas yang tinggi dalam menghadapi lingkungan global yang ditandai dengan hiperkompetisi dan tuntutan pelayanan.
                Permasalahan ketiga adalah setiap penyelenggaraan diklat harus memiliki standar dan kriteria kompetisi yang jelas dan dapat terukur sesuai dengan tujuan penyelenggaraan diklat dan hasil belajar. Penyeleksian peserta diklat yang didasarkan pada prestasi masa lalu dan test kemampuan masih bersifat umum. Secara faktual maupun teoritis menunjukkan bahwa pemimpin merupakan faktor utama untuk mendayagunakan sumber daya organisasi dan lingkungannya untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
                Untuk itu seleksi calon peserta diklat khususnya kepemimpinan harus menguji kemampuan intelegensia dan kecerdasan emosional aparatur birokrasi pemerintah serta menguji apakah calon peserta diklat memiliki sense of good governance terutama menyeleksi kemampuan dan kecerdasan emosional dalam menduduki dan menjalankan tugas pada jabatan baru.
                Permasalahan keempat adalah penempatan aparatur pemerintah setelah mengikuti diklat. Jumlah eselon relatif lebih kecil ketimbang pegawai yang telah mengikuti diklat. Hal ini perlu mendapat perhatian dari segenap pihak agar aparatur yang telah mengikuti diklat memberikan kontribusi kepada peran dan fungsi birokrasi pemerintah.
                Permasalahan lain kompetensi yang dihadapi diklat widyaiswara yang secara kontinu masih perlu ditingkatkan terutama berkaintan dengan pengaruh lingkungan global yang berubah sangat cepat dan penyelenggaraan otonomi  untuk daerah kota atau kabupaten. Kedua hal diatas mewajibkan badan atau lembaga penyelenggara diklat harus mampu meningkatkan kompetensi widyaiswara
                Penyelenggaraan diklat bagi karyawan merupakan salah satu upaya penting dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kualitas sumber daya daya aparatur. Selain itu diklat dapat meningkatakan kinerja organisasi dan prestasi kerja secara efektif yang sesuai dengan kebutuhan pemakai baik lembaga instansi maupun masyarakat.
                Disamping peserta diklat, widyaiswara sebagai fasilitator proses belajar mengajar merupakan komponen utama dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan diklat. Oleh karena itu  widyaiswara  harus dapat menjalankan secara profesionalisme. Lantas kompetensi apa yang harus dimiliki seorang widyaiswara? Widyaiswara harus menguasai ilmu yang menjadi pegangan mata kuliahnya sekaligus  menguasai dan mampu menggunakan metode – metode mengajar.
Sebagai seorang profesional, widyaiswara harus memiliki kesadaran akan tugas dan perannya sebagai seorang fasilitator yang mampu membantu peserta diklat meningkatkan daya serap, daya internalisasi, daya sosialisasi; perencana proses belajar-mengajar; motivator yang mampu menciptakan suasana segar dan merangsang sehingga semangat pserta diklat untuk belajar.